Artikel bebas
Pada tanggal 18 juni 2014 sekitar pukul 19.00, saya dan rombongan dari STMM kususnya program studi Manajemen Informasi dan Komunikasi mengadakan kunjungan ke Taman Budaya Yogyakarta yang sedang mengaadakan acara Art Jog 2014. Sesampainya disana kami berkumpul didepan gerbang sembaring menunggu teman-teman yang belum datang dan dosen kami bapak Kus Indarto. Beberapa dari teman saya mengumpulkan uang Rp 10.000,- untuk membeli tiket masuk. Dan beberapa saat kemudian teman saya mendapat pesan singkat dari dosen kami bahwa kami diminta memasuki Art Jog 2014 terlebih dahulu. Sesampainya didalam tidak berapalama dosen kami datang. Setelah itu kami disambut mas Heri Pemad selaku CEO ( chief executive officer ) di Art Jog 2014, kami dituntun masuk ke dalam dan diberentikan di ruang tengah di Art Jog 2014. Disana kami didudukan dilantai (duduk lesehan) dan didepan kami ada sebuah lukisan yang cukup besar dan seorang pria yang sudah berumur duduk di kursi.
Selanjutnya acara mulai berlangsung awalnya dosen kami mulai mempersilahka kami duduk namun antusias penonton Art Jog 2014 yang lain sangatlah besar sehingga dosen kami mempersilahkan penonton yang lain untuk mengikuti dan ikut aktif dalam acara yang sebenarnya adalah perkuliahan kami. Dimulai dengan dosen kami yang memperenalkan seorang pria cukup umur yang duduk dan mas Heri Pemad. Ternyata pria tersebut adalah bapak Djoko Pekik seorang seniman yang terkenal atas hasil lukisannya.
Djoko Pekik merupakan salah satu seniman yang dikenal dengan karya-karyanya yang kritis terhadap situasi politik di negara ini. Semenjak tahun 1998 dengan karya lukisannya yang berjudul Berburu Celeng-nya terjual seharga satu milyar, Djoko Pekik menyandang julukan pelukis satu milyar. Sejarah kekaryaannya membuat harga tersebut menjadi masuk akal. Diantara 300-an karyanya, trilogi Susu Raja Celeng (1996), Indonesia 1998 Berburu Celeng (1998), dan Tanpa Bunga dan Tanpa Telegram (2000) merupakan favoritnya.
Dalam pameran Art Jog 2014 ini pak Djoko Pekik menghadirkan sebuah karya seni dalam bentuk lukisan dengan tema yang telah disediakan dan lukisan itu berjudul Go to Hell Crocodile. Dalam lukisan tersebut digambarkan sebuah citraan seekor buaya dengan panjang sejauh mata memandang melingkari ceruk galian tambang. Di sekelilingnya, kerumunan figur bersenjatakan bambu runcing siap dihujamkan ke tubuh buaya itu. Lalu sesi berikutnya adalah dimana pak Djoko Pekik mulai menceritakan maksut atau arti dari lukisan tersebut. Dia bercerita tentang masalalu dimana dia pernah dipenjarakan selama 8 tahun, dan juga menceritakan era orde baru, penjajahan, dan masa dimana dia hidup susah. Secara umum lukisan ini menggambarkan revolusi indonesia yang mana ditebus dengan nyawa, namun sudah 69 tahun indonesia merdeka tapi 49 tahun terakhir tercabik-cabik oleh kapitalisme asing yang telah mencekeram dan menjajah kekayaan tana air indonesia hingga ke akar-akarnya, karya ini mengingatkan pada kelakuan perusahaan tambang asing yang menguras perut bumi Indonesia di Papua dan Nusa Tenggara. Dan pak Djoko Pekik berpesan agar penerus bangsa mengembalikan martabat bangsa dan daulat negara juga menghentikan penjaraan kapitalisme asing. Lukisan pak Djoko Pekik ini dibandrol dengan harga 6 milyar dan ternyata sudah ada penawarnya yang menawar lukisan tersebut seharga 5 milyar.
Setelah penjelasan dari pak Djoko Pekik yang juga dibantu dosen saya diadakan semacam sesi tanya jawab. Sesi ini sangat diminati para peserta termasuk penonton Art Jog 2014, terdapat banyak pertanyaan mulai dari teman-teman saya dan juga para pengunjung Art Jog 2014. Dengan sedikit terbata-bata karena umurnya ini pak Djoko Pekik menjawab satu persatu pertanyaannya. Namun sempat dosen saya menanyakan pada pak Djoko Pekik bahwa pada lukisan tersebut pak Djoko Pekik menggambarkan dirinya sendiri yang membawa bambu runcing tersebut maksut dari gambar itu apa, pak Djoko Pekik hanya menjawab “itu adalah cara narsis saya”. Ucapan “cara narsis saya” ini membuat semua pengunjung tertawa.
Setelah sesi pertanyaan selesai dosen saya mempersilahkan mas Heri Pemad untuk menjelaskan Art Jogja 2014, disini juga terdapat sesi pertanyaan yang banyak diminati banyak penonton dari segi menanyakan tujuan Art Jog 2014, peminatnya perhari, mengapa tiket diberi harga Rp 10.000, seniman-seniman yang diundang dan lain sebagainya.
Secara cerdas pagelaran ini mengusung tema “Legacies Of Power”, sebuah pesan penuh makna sekaligus sindiran kepada bangsa Indonesia menjelang pergantian kekuasaan. Legacies of Power adalah cara seniman dan ART JOG 2014 untuk mengkritisi praktik dan produk demokrasi di Indonesia termasuk kusutnya wajah kepemimpinan nasional Indonesia menjelang Pemilu 2014. Semua karya tersebut adalah hasil kreativitas seni yang dilahirkan melalui daya kritis dan ekplorasi pemikiran sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia, juga sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Belanda dan Amerika Serikat.
Acara perkuliahan kami ditutup dengan tepuk tangan yang meriah dan foto bersama MIK4, dosen saya pak Kus Indarto, pak Djoko Pekik dan mas Heri Pemad. Lalu kami MIK4 di persilahkan menonton dan menikmati karya-karya seni yang dibuat para seniman yang telah dipajang. Pada pukul 22.00 WIB acara Art Jog 2014 ditutup untuk dilanjutkan esok harinya dan kamipun pulang ke rumah dan kosan masing-masing.
Resume by : Melia Helena
KUNJUNGAN KE ART JOG 2014
Selasa, 13 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar